Presidential threshold atau ambang batas presiden adalah ketentuan yang mengatur persyaratan jumlah suara yang harus diperoleh oleh seorang kandidat presiden agar dapat maju dalam pemilihan presiden di Indonesia. Sebelumnya, pasal 222 Undang-Undang Pemilu mengatur bahwa seorang kandidat presiden harus memperoleh setidaknya 20% suara nasional atau 25% suara di setidaknya setengah dari provinsi di Indonesia.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 28 Februari 2022 memutuskan untuk mencabut presidential threshold tersebut. MK menyatakan bahwa ambang batas presiden tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang mendasari sistem pemilihan umum di Indonesia. Keputusan ini diambil setelah adanya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh sejumlah pihak.
MK menilai bahwa presidential threshold dapat menjadi hambatan bagi calon presiden yang memiliki popularitas tinggi namun tidak memenuhi persyaratan suara yang ditentukan. Hal ini dianggap tidak adil dan merugikan hak demokratis masyarakat dalam memilih pemimpin yang dianggap layak dan kompeten untuk memimpin negara.
Dengan pencabutan presidential threshold, diharapkan akan memberikan peluang yang lebih luas bagi calon presiden untuk bersaing secara adil dalam pemilihan umum. Keputusan MK ini juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan mendorong terciptanya persaingan yang sehat di dunia politik Indonesia.
Meskipun demikian, pencabutan presidential threshold ini juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang mendukung keputusan MK karena dianggap sebagai langkah yang memperkuat prinsip demokrasi, namun ada pula yang khawatir bahwa hal ini dapat membuka peluang bagi calon presiden yang kurang berkualitas untuk maju dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, penting bagi seluruh pihak untuk memahami implikasi dari pencabutan presidential threshold ini dan terus mengawal proses demokrasi di Indonesia agar dapat terus berkembang dan meningkatkan kualitas kepemimpinan negara.